Batak
Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan
sebuah terma kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang
bermukim dan berasal dari Tapanuli
dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang
dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Mayoritas orang Batak
menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim dan juga menganut
kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau
Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin
berkurang.
Sejarah
Orang
Batak adalah penutur bahasa
Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak
pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti
arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500
tahun lalu, yaitu di zaman batu muda (Neolitikum). [2]Karena hingga
sekarang belum ada artefak Neolitikum
(Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek
moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatra Utara di zaman logam. Pada abad ke-6,
pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus,
di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan
oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi
sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad
ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya.
Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera[3]. Pada masa-masa
berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang
Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera
Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam,
hingga Natal
Identitas Batak
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad
ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan
sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah
itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau
antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari
satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar.[5] Pendapat lain
mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak
baru terjadi pada zaman kolonial.[6] Dalam
disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah
"Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak
asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra
pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang
baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya
sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok
tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Bukit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat
"kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga
menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak
yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya
migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting
tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan
transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka
Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung
di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk
masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang
diturunkan dari Bahasa
Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari
ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad
ke-14 untuk menguasai Barus.[7]
Penyebaran agama
Misionaris Kristen
Pada tahun 1824, dua
misionaris Baptist asal Inggris,
Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak.[10] Setelah tiga hari
berjalan, mereka sampai di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua
minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan
pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan
ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar
Negeri.[11]
Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata
bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan
misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba
dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.[12].
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan
sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig
Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya
diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan
penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut
dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun
1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku,
dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.[13]
Masyarakat Toba dan Karo
menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan
Kristen sebagai identitas budaya[14]. Pada masa ini
merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak
orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial.
Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir
pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja
XII wafat.[15]
[sunting] Gereja HKBP
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige
pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat
memberikan pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun
1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.[16]
Kepercayaan
Sebuah
kalender Batak yang terbuat dari tulang, dari abad ke-20. Dimiliki oleh Museum
Anak di Indianapolis.
Sebelum suku Batak Toba
menganut agama Kristen
Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di
atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku
Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:
- Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
- Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
- Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan
kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut
agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau
meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari
mereka.
Salam Khas Batak
Tiap
puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal
dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di
masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki
penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2.
Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3.
Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4.
Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5.
Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua
Bulung!”
Kekerabatan
Kekerabatan
adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua
bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan
(genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak
ada.
Bentuk
kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak
memiliki marga. Sedangkan
kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar
marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi
kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya
misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya.
Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan
dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar
daerah.
Adanya
falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok
dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar
kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman
terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu
marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan
Adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar